Monday, June 29, 2015

5 Hari Sebelum Tanggal 5

Entri ini saya tulis jam satu pagi, sambil mendengarkan Gravity-nya Coldplay yang sedang dalam mode on repeat sejak sejam yang lalu. Sebenarnya saya sudah berusaha tidur tetapi mata ini tidak mau terpejam. Entah kenapa, pagi ini saya merasa sunyi dan hampa. Pikiran saya pun mendadak ikut meresapi kesunyian ini.

Alangkah banyak yang ingin saya tuliskan di halaman ini. Berkali-kali saya menerima pertanyaan, “Kapan diisi lagi blog-nya?”, “Kok sekarang gak pernah posting lagi?”, dan sebagainya. Berkali-kali berbagai pemikiran singgah di otak. Berkali-kali pula saya meniatkan hati untuk menulis barang satu-dua halaman. Toh akhirnya semua niat cuma mengendap.

Juni nyaris berakhir. Bulan ketujuh akan segera saya jelang. Rasanya baru kemarin tahun 2014 berlalu. Kadang benak tergoda untuk melontarkan pertanyaan, apa saja yang sudah saya raih selama enam bulan ini? Apa saja pengalaman yang berhasil saya kumpulkan? Pembelajaran apa yang sudah saya petik? Berapa banyak teman yang saya punya? Apakah kepindahan saya ke Qatar sudah tepat?

***

Empat jam yang lalu, saya berada di ruang tunggu salah satu praktik dokter gigi di daerah Al Khor. Sembari menunggu giliran dipanggil, saya membaca sebuah majalah yang terletak di atas kursi di seberang saya. Saya langsung membuka sembarang halaman dan kata-kata pertama yang saya baca adalah “Life keeps on moving, you must change and move as life does”.

Saya membaca tulisan tersebut dua kali. Kemudian saya terdiam. Saat itu batin saya mengambil alih. Dengan ketenangan yang tak pernah saya duga ada. Dalam kesunyian yang mendamaikan. Dalam keheningan yang menyejukkan. Saya tersenyum.

***

Sudah sebulan sejak kepindahan saya, saya belum merasa settle disini. Proses mendapatkan resident visa terlalu memakan waktu. Saya pun tak bisa kemana-mana karena belum boleh mengikuti ujian mendapatkan license. Hidup saya hanya bergantung pada orang tua dan beberapa teman yang kerap datang menjemput untuk sekedar jalan-jalan. Hal ini membuat saya tidak sabar dalam proses dan sempat meragu: apakah keputusan saya pulang kesini adalah benar?

Namun tulisan random yang saya baca di ruang tunggu sebuah praktik dokter gigi tadi ternyata membuat saya berpikir ulang.

Saya sudah berkomitmen belajar untuk tidak terlalu terikat dengan satu tempat dan orang untuk kemudian akhirnya saya jadi bisa merindukan tempat dan orang tersebut, dan buat saya rindu adalah kompas petunjuk bahwa suatu hari nanti saya pasti kembali lagi untuk mengunjungi mereka. Saya diingatkan lagi ketika sibuk mengurusi pindahan, saya menyadari satu hal, semakin saya bertumbuh, semakin saya malas berpindah. Diam di zona aman itu adalah hal yang paling  menyenangkan. Semakin pula saya kurang peka dengan banyak hal karena “terbiasa”. Terbiasa itu berpeluang menumpulkan. Dan itulah alasan saya memutuskan untuk pindah.

Lagi-lagi, dengan cara yang ajaib, Sang Pencipta menunjukkan kebesaran-Nya. Memberi satu lagi peneguhan dan kekuatan untuk hati kecil yang kerap meragu ini. Menciptakan sinkronisitas untuk meyakinkan saya bahwa jalan yang sedang saya tempuh adalah jalan yang benar – setidaknya untuk saat ini. Mengalihkan fokus saya dari berbagai hal yang menyita perhatian dan terkadang begitu menjemukan, untuk sekejap menyapa dan memberitahu bahwa saya tak pernah sendirian dalam menapaki perjalanan panjang ini.

Lima hari sebelum tanggal lima... dan untuk seterusnya. Apapun yang terjadi di depan sana, apapun yang menunggu saya kelak, apapun yang akan saya alami dalam perjalanan dan evolusi kehidupan yang terus bergulir ini; sesal atau senang, gembira atau sedih, kebanggaan atau kekecewaan, hanya satu harapan saya: semoga saya bisa senantiasa mengenangnya dengan senyuman.

:-)

Wednesday, April 24, 2013

Skenario Terindah


Selasa, 23 April 2013
21.59 PM.

Saya letih sekali setelah tennis 2 jam tadi sore. Ingin tidur, tetapi mata masih terbuka sambil menatap langit-langit kamar. Sama sekali tidak bisa terpejam. Kali ini penjahatnya bukan kegalauan atau hal-hal negatif lainnya, melainkan rasa syukur ke ufuk langit. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa senyum-senyum sendiri saja. Tak lama, saya beranjak dari tempat tidur dan mencari minuman yang hangat. Setelah merasa hangat dengan segelas chai, sekarang biarkan saya bercerita…

Pernah melihat seseorang? Sekali saja, tanpa sempat berkenalan langsung, tetapi wajahnya terngiang dan tak bisa hilang?

Saya mengalaminya.

Dulu, sekitar tahun 2007, saya diceritakan seorang teman tentang seseorang yang tak pernah saya lihat dan kenal sebelumnya. Setiap mendengar dia menceritakan perempuan itu, saya hanya bisa manut-manut tanpa bisa membalas. Cukup mendengarkan saja, tetapi nama lengkap yang disebutkan itu terus menari-nari di dalam kepala saya.

Beberapa waktu kemudian, saya berjumpa dengan perempuan yang diceritakan seorang teman itu di social media. Tetapi, mana mungkin dia kenal saya, mungkin saja dia menambahkan saya sebagai teman karena melihat teman-temannya yang sekarang juga sudah menjadi teman saya. Kami berteman tanpa pernah saling sapa. Saya hanya berani sesekali melihat foto-foto dia sedang bermain dengan es serut :p (baca: salju). Tak ada keberanian untuk mengucapkan “hi, kamu ya orang yang selalu dibicarakan teman-teman di sekolah? Saya tidak tau kamu tapi sepertinya kamu orang yang baik” atau “hai, boleh kenalan?” itu lebih buruk lagi.

Setelah itu, cerita kami complicated sekali. Setelah berselang cukup lama tanpa masih saling berani menyapa, dari saya tamat sekolah, melanjutkan kuliah, berkutat dengan skripsi, hingga saya tamat, dia masih saja “tinggal” di kepala.

Suatu hari, saya mendapat berita di seberang rumah tinggal lah seorang yang bernasib seperti saya. melanjutkan kuliah ditempat yang sama dengan saya dan tinggal berjauhan dari orang tua, kakak dan abang yang bekerja dan bersekolah di luar negeri. Di waktu yang lain, perempuan yang bermain es serut itu tiba-tiba datang dan menyapa sebagai pembaca setia blog saya dan memberi saya kejutan bahwa… selama ini kami tetangga?

Semesta memang keren. Selalu memberi saya kejutan yang manis sekali. Butuh waktu kurang lebih 5 tahun untuk melengkapi  puzzle-puzzle mu yang bertebaran di bumi ini. Sejak dulu, para makhluk bumi sudah berkicau membicarakan mu kepada ku, para penduduk langit telah mengaminkan segala tanya saat namamu menari-nari di kepalaku dan Allah sudah memberi kita sekenario terindah!

“… dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jika pun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkn hati mereka. Tetapi Allah – lah yang telah menyatupadukan mereka…” (QS. Al- Anfaal: 63)

Saya selalu suka ayat ini. Tak ada yang mengtahui kegaiban himpunan hati ini kecuali Dia yang telah mempersatukannya. Tak ada yang merasakan indahnya kecuali hati-hati itu sendiri. Entahlah, berjarak raga bukan masalah, karena kehangatan, kebaikan hati, dan imannya yang menjulang ke langit terasa sekali di hati saya. Allah satukan hati-hati yang berserak untuk saling bersaudara.

Alhmdulillah… Kau hadiahkan lagi seorang sahabat yang shalihah kepadaku, agar kuat imanku, agar tertaut selalu hatiku padaMu. Semoga suatu saat Kau pertemukan kami dalam keadaan terbaik.

Sekali lagi,
Semesta keren.
Allah kita lebih keren lagi.

Sincerely,
Your girl next door.

Monday, April 22, 2013

Mereka


Mereka, berpeluh keringat tak pernah absen datang dan belajar.
Mereka, bersepatu robek tapi tak pernah rendah diri untuk tetap berjalan tegak.
Mereka, berkulit legam karena pergi ke sawah selesai sekolah.
Mereka, rumah papan beralaskan tanah dan beberapa ekor sapi adalah kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Mereka, terbata-bata mengeja kata-kata tapi selalu semangat bila tiba waktunya bernyanyi.
Mereka adalah yang berjalan ribuan kilo di bawah matahari dan tawanya selalu melibas diriku yang masih mengeluh panas bila hendak pergi kesana. 

Dari mereka, aku mengerti kerja keras.
Dari mereka, aku menikmati kesabaran yang berkelas.
Dari mereka, aku mendapatkan pelajaran berharga.
Dari mereka, aku mencium cita-cita.


Monday, March 18, 2013

Menjadi Orang Tua


Ini hadiah ulang tahunmu tahun ini.

Saya menerima sebuah amplop polos berwarna putih dan mulai membukanya ketika dia sudah pulang. Ada brosur dan secarik kertas. Saya perhatikan lagi bagian dalam amplop tanpa perekat itu, mungkin masih ada hadiah yang tertinggal di ujung lipatannya. Tidak ada apapun.

Saya kembali dihadapkan pada momen ulang tahun. Ke dua puluh dua. Detik itu, saya sedikit kecewa karena hanya dihadiahi dua lembar kertas penuh kalimat yang ditulis dengan tinta hitam dan sebuah brosur.  Tanpa membaca sampul depannya, saya menaruh brosur itu di meja kaca yang ada dihadapan saya, dan meski enggan, saya tetap memilih surat dua lembar itu dan mulai membacanya. Keengganan saya beralasan. Sudah saya duga, tak ada yang spesial. Hanya ucapan selamat, doa-doa yang dipanjatkan, dan…

Empat alinea terakhir katanya adalah “hadiah”nya. Ada kaitannya dengan brosur yang tadi tak saya pandang sedikitpun. saya habisi empat alinea yang tersisa dari surat itu dan langsung mengambil brosur yang masih rapi di atas meja. Rupanya Brosur Rumah Zakat tentang Program Orang Tua Asuh. Saya baca dengan seksama brosur lipat tiga itu. Intinya, di program itu, kita akan menjadi orang tua asuh yang memberi beasiswa per bulan kepada anak-anak kurang mampu di Banda Aceh dan Aceh Besar. Pilihannya tergantung dengan jumlah anak dan tingkat sekolahnya. Saya terus membaca brosur itu sampai habis dan tak lama saya menitikkan air mata. I have had lots fancy stuff my parents gave. Not even on birthday moment. Sometimes all I have to do is ask. They’ll give me.

Selang satu hari, saya menghubunginya dan bersedia menjadi orang tua asuh yang memberikan beasiswa kepada anak-anak kurang mampu. Sekejap itu juga, saya merasa “hadiah” darinya merupakan salah satu hadiah terbaik yang pernah saya terima diulang tahun saya. Hadiahnya adalah sebuah kesadaran, bahwa bahagia itu adalah ketika kita membuat orang lain bahagia. Saya berterimakasih sekali padanya. Semoga rahmat Allah selalu tercurah untuknya dan keluarganya.

Sudah enam bulan, saya menjadi orang tua asuh. Semingu yang lalu, saya baru menerima kopi-an rapor anak saya yang bernama Lisa Hayatul Khairi yang masih duduk di kelas 6 SD Cot Keueung. Saya bangga karena nilai-nilai akademisnya bagus, hafalan surat-surat di Al Qur’an sudah lebih dari sepuluh dan dia menjadi salah satu murid yang di senangi oleh guru-guru di sekolah. Lebih dari itu, saya mendapat surat lagi. Surat cintanya. Ditulis langsung dari tangannya.
Wajah Anak Asuh Saya
 
Saya baca surat itu dan tangis saya kembali tumpah. Dia mendoakan kesehatan dan keberkahan rezeki untuk saya. Tidak ada hal yang lebih bahagia ketika membaca  pinta-pinta kebaikan dan keselamatan dari anak asuh saya.  Meski saya tak pernah bertemu langsung, saya merasa dekat sekali dengannya. Kuasa Allah-lah yang mempersatukan hati-hati hambaNya. 
Suratnya :)
Mulai detik ini, saya berjanji kepada diri saya sendiri, bahwa saya harus menjadi orang sukses dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Saya harus membantu orang-orang tak mampu yang berada di sekitar saya. Saya memang belum cukup baik dalam beribadah, dan saya tidak tahu amal ibadah saya yang mana yang akan diterima oleh Allah, tetapi berbagi dengan sesama adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan dan saya bersyukur sekali Allah berikan saya kesempatan untuk “memeluk” anak-anak kurang mampu itu.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More